[EXO Fanfiction] What Hurts The Most -by secretbase94

[EXO Fanfiction] What Hurts The Most -by secretbase94

WHAT HURTS THE MOST

whtm-

The amazing story belongs to Rara (secretbase94 on AFF), my favorite author for New Year Short FanFiction Event @ EXO EXO-L (EXO’s Line unofficial fanbase). Poster by AYUSHAFIRAA. Poster model – Ban Namgyu feat. KAI of EXO.

-000-

What hurts the most
Is being way too close

Ini bukan waktu yang tepat untuk menyesalinya  ̶  sudah terlambat, aku tahu. Jika ada seseorang yang patut disalahkan, itu aku, pasti. Dan semua orang disekelilingku, yang tidak pernah mengigatkanku bahwa hubungan sederhana,   ̶namun perlahan tumbuh menjadi rumit seperti hubungan yang aku miliki dengan Kim Jongin ini tidak akan pernah berjalan dengan baik.

Dan haruskah aku menyalahkanmu, Jongin, karena menghampiriku dimalam natal lima tahun lalu, dengan secangkir kopi hangat dari kedai kopi diujung jalan ditanganmu, dan kata-kata tajammu beserta sebersit kekhawatiran yang terselip rapi diantara nada bicaramu yang dingin.

Waktu itu kau enam belas, dan aku delapan belas.

Kau tahu, kau tidak seharusnya melakukan itu.

Kau tampak mengerikan. Berhentilah menangis.

Ku tarik kembali ucapan terimakasihku pada malam yang mengelilingiku dengan gelapnya sehingga aku tidak perlu repot-repot bersembunyi, namun kau disana, berdiri tepat didepanku ̶  kau menemukanku.

Kau menjatuhkan dirimu duduk disebelahku, kedua tanganmu terselip dibalik saku celana jeans mu, dan aku mendengar satu helaan nafas panjang terselip keluar diantara kedua bibirmu bersama asap musim dingin yang mengepul. Sesaat kemudian hanya isak tangisku yang memecah keheningan diantara kita.

Aku mengangkat kepala, hanya untuk memastikan bahwa kau masih disana. Namun apa yang aku temukan adalah kau yang diam,  menatapku dengan mata coklat chestnutmu, tepat kedalam mataku. Hangat dan dalam.

Lalu aku sadar, kau hanya diam menatapku selama lima menit atau mungkin lebih selama aku menangis. Telapak tanganmu terasa hangat menempel di sisi wajahku, menghapus satu lagi air mata yang menetes dari pelupuk mataku dengan ibu jarimu. Tatapanmu masih tak bergeming, dengan bias cahaya bulan di dalam sana. Saat itu aku bertanya-tanya apakah mustahil bagimu untuk menatap jauh hingga kedalam jiwaku.

Satu yang aku tahu. Milikmu, Jongin, adalah tatapan yang paling lembut sepanjang memoriku bisa mengingatnya.
What hurts the most
Is having so many words to say, but not being able to

Jika hal paling menarik bagimu adalah menari, maka bagiku adalah melihatmu melakukannya. Melihatmu menaruh seluruh hati dan jiwamu kedalam setiap detail gerakan yang kau ciptakan. Aku bersumpah aku bisa melihat gairah dan cinta tersiram disetiap derap langkah yang kau eksekusi. Dan aku bersumpah jantungku melewatkan satu atau dua detak setiap ujung bibirmu melekuk keatas hingga sepertinya nyaris menyentuh ujung matamu membentuk sebuah seringai mematikan ditengah pertunjukanmu, itu klimaksnya. Saat itulah aku yakin semua orang yang melihatmu pasti berfikir bahwa kau memang terlahir untuk panggung itu.

Aku tahu kau bukan seperti kebanyakan orang diluar sana, kau menari karena kau mencintai hal itu. Bukan untuk sekedar ketenaran dan lampu sorot panggung atau popularitas dengan tepuk tangan serta teriakan gadis-gadis yang mengelu-elukan namamu. Tidak. Kau mencintainya. Itu saja. Selesai.

Lalu bagaimana keringat-keringat itu membasahi rambut kecoklatanmu dan membuatnya menempel di dahimu. Lalu yang lain jatuh bercucuran di sisi wajahmu terus hingga ke tulang lehermu, bagian tubuh favoritku setelah mata dan bibirmu. Sinar matahari sore yang mengintip dari celah jatuh tepat diatas wajahmu, lalu lengan kecoklatanmu yang terekspos. Terlihat terbentuk otot disana, kerja kerasmu sepertinya mulai terlihat.

Saat itu aku bertanya-tanya bagaimana rasanya terjatuh dari surga dan sakitnya ketika menyentuh bumi.

Musik berhenti. Dadamu naik dan turun seirama dengan tarikan nafasmu, berusaha mengatur dan memasukkan oksigen sebanyak yang kau bisa ke dalam paru-parumu. Senyummu masih disana, tak beranjak sedikitpun.

Aku mendekat dan mengusap rambut didahimu, membawanya keatas kepalamu. Peluhmu terasa aneh ditelapak tanganku. Namun itu bukan masalah. Kedua tanganmu menggengam lembut lenganku lalu menjatuhkan kepalamu diatas bahuku. Kau bergumam pelan, tak lupa menyelipkan senyum disana, aku bisa mendengarnya ̶  tidak, aku merasakannya.

Aku berhasil, Sera. Aku menyelesaikannya.

Kau delapan belas saat itu. Aku mengacak lembut rambutmu. Kau telah berlatih terus-menerus selama lima? Tidak, tujuh hari berturut-turut tanpa henti bahkan disaat yang lain sedang beristirahat. Kau selalu menjadi yang pertama dan yang terakhir meninggalkan studio latihan, dan akan tetap terus begitu. Ya, kau berhasil, Jongin. Semoga beruntung di panggung showcasemu besok.

Aku tidak ingat jika ada yang salah dengan urat syarafku atau apapun itu, tapi aku merasakan tangan hangat Jongin dipunggungku, merengkuh tubuhku. Dia memelukku? Dia memelukku. Tidak hanya jantungku yang berhenti berdetak untuk sesaat, sepertinya otakku juga, entah bagaimana caranya, berhenti berfungsi. Begitu juga dengan paru-paruku. Dan, oh, apakah waktu juga berhenti mendetakkan detiknya? Apakah dunia ini juga berhenti berputar?

Entahlah. Tapi satu yang aku tahu, tidak. Dua.

Tanganmu ̶  maksudku tubuhmu, dan pelukanmu adalah yang paling hangat sepanjang tubuh dan memoriku bisa mengingatnya.

Dan satu lagi. Aku melanggar satu yang tak seharusnya kita langgar. Satu yang seharusnya tidak kita lakukan. Aku menyukaimu. Tidak. Aku mencintaimu, Kim Jongin.

Aku mencintaimu.


What hurts the most
Is knowing I’m not your “right one”

Kau membawa masuk udara pagi pertama dimusim dingin dengan dua kotak susu dan senyum cerah diwajahmu serta cerita tak terhingga yang ingin kau sampaikan padaku. Tetapi dibandingkan fakta bahwa aku bersumpah bahwa kemarin masih musim semi dan kau masih delapan belas, ingatan memukulku dengan keras berusaha mengingatkanku bahwa kau sudah dua puluh sekarang.

Tidak ada yang lebih menyenangkan selain mendengarkan celotehanmu tentang hal apapun itu yang menurutmu pantas dan menarik untuk diceritakan hingga ketitik dimana aku tidak bisa merasakan kehadiran orang lain ketika aku bersamu, kecuali dirimu.

Kali waktu kau terus berceloteh tentang bagaimana Sehun sangat menyukai bubbletea hingga tak satu haripun ia lewatkan tanpa minuman teh dan susu dengan mutiara tapioka itu menyesap masuk ke tenggorokannya. Atau bagaimana Minseok akan menedangmu dan yang lainnya turun jika kalian berada diatas kasurnya. Tentang kue beras langganan yang terasa lebih pedas dari biasanya. Tentang betapa dinginnya hari itu. Tentang semua hal.

Lalu kali itu, untuk pertama kalinya kau bercerita tentang hal lain. Tentang Soo Jung.

Melihat senyummu terbalut indah disetiap untaian kata yang terucap keluar dari bibirmu tentangnya, aku tidak tahu harus melakukan apa. Entah bagaimana, namun bibirku tetap tidak bisa berhenti tersenyum. Otakku terus memaksaku untuk menahan air mata yang semakin sulit dibendung saat aku melihat kelembutan itu lagi terbias di dalam matamu. Tenggorokanku sakit. Bagaimana dengan hatiku? Entahlah.

Lalu kali berikutnya kau bercerita tentang hal-hal tidak penting itu lagi. Aku mendapati diriku menghela nafas dan menemukan rasa sesak yang selama ini mengimpit dadaku hilang, tergantikan oleh rasa lega yang melayang di disana. Aku mendapati diriku, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu ini, tersenyum lebar. Kau kembali, Jongin.

Kau bercerita tentang anak anjing yang tersangkut dipohon, kau bilang dia mirip Baekhyun. Tentang mengapa mawar selalu dikelilingi oleh baby’s breath. Mengapa Jongdae terlihat seperti unta ketika sedang makan. Mengapa telinga Chanyeol sangat besar.

Mengapa kau selalu menceritakan tentang semua hal, bahkan hal-hal yang tidak penting sekalipun padaku?

Kau berbaring diatas tempat tidurku dengan tanganmu kau angkat tinggi-tinggi dan matamu menerawang langit-langit kamarku. Kau sedang menggambar sesuatu yang tak terlihat dengan jari telunjukmu di udara. Kau menoleh kearahku, mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya menjawab, Karena kau sahabatku, Sera. Apa ada alasan lain?

Tidak. Kurasa tidak.

Detik berikutnya seolah semua suara yang bisa tertagkap oleh indraku melebur menjadi satu menciptakan sebuah keheningan yang teramat pahit. Namun rasa sakit didadaku terlalu nyaring untuk diabaikan bahkan sejenak. Lagi-lagi otakku mengambil alih memerintahkan untuk membenam semua emosi dan rasa sakit dibalik air mata lalu menelannya bulat-bulat karena itu bukan waktu yang tepat untuk mengeluarkannya. Tidak. Tidak dihadapanmu, Jongin.

Aku menyuruhmu pulang ke asramamu yang berada tepat di samping rumahku. Seperti biasa kau melompat dari balkon kamarku ke balon kamarmu yang hanya berjarak satu meter. Betapa jantungku akan melompat ketakutan setiap kali kau melakukannya. Bagaimana jika kau jatuh? Bagaimana jika kau terluka, Jongin bodoh?! Oh ya, kau tak lupa mengacak-acak rambutku dan mengucapkan selamat malam sebelumnya.

Sahabat? Baru saja dinding besar yang aku bangun diantara kita aku hancurkan. Tidak, kau juga ikut andil dalam meruntuhkannya menjadi berkeping-keping. Dan sekarang kau membangun satu lagi yang bahkan jauh lebih tinggi dan tebal dari pada yang aku miliki sebelumnya. Dinding yang selamanya tidak akan pernah bisa aku panjat, apalagi aku tembus.

Lalu satu lagi yang aku ketahui. Aku jatuh cinta, begitupula denganmu. Aku mencintaimu, namun tidak denganmu.
What  hurts the most
Is watching you walk away

Kau adalah Kim Jongin seperti biasa yang menghabiskan waktumu diruang latihan, yang berlari kearahku dengan keringat didahimu serta celotehan tak terhingga tentang hal apapun pada hari-hari tertentu. Lalu kau adalah seorang anak dengan cedera dipunggungmu, berjalan tertatih bertopang tubuhku ditengah musim dingin. Terkadang kau adalah bocah lima tahun yang terperangkap di tubuh dua puluh satu, merengek bahkan menangis saat dibangunkan dipagi hari. Terkadang kau adalah Kim Jong ̶ maksudku, Kai si penari penuh karisma dan gairah di hari berikutnya.

Kurasa aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam dengan hanya memandangimu menari, bahkan hanya dengan memandangimu yang berjalan menuruni panggung menuju kearahku membuat kupu-kupu didalam perutku terbang kegirangan. Ada terlalu banyak kata-kata muncul dibelakang kepalaku untuk mendeskripsikan dirimu setiap kali langkah itu membawamu lebih dekat denganku.

Jongin, hari ini rambutnya merah kecoklatan.

Rambutnya basah karena keringat, dia terlihat sangat seksi.

Bibir merah mudanya yang penuh seperti sedang memanggilku.

Ada dua bulan sabit dimatanya saat dia tersenyum. Dan itu cantik sekali.

Aku bisa mencium parfumnya. Kombinasi antara wangi yang manis, maskulin, dan ekstasi.

Jongin adalah ekstasi yang jauh lebih adiktif dari narkoba jenis apapun.

Di hari lainnya kau adalah aku, kita berbagi sejenak keheningan yang tak sekalipun terasa canggung sejauh memoriku bisa mengingatnya, biarkan setiap senti tubuh kita hanyut kedalam sana. Memungut detik demi detik yang terasa hangat, merangkainya menjadi sesuatu berharap itu bukanlah satu yang fana.

Lalu di hari itu, kau adalah Kim Jongin, yang sedang dimabuk cinta.

Kau mengaku padaku bahwa kau baru saja mengutarakan perasaanmu pada Soo Jung tadi malam. Tanpa repot-repot bertanya kelanjutannya, aku berusaha keras merangkai senyum terbaikku, demi Tuhan kuharap kau tak menyadari senyum terpaksaku yang menyedihkan itu, dan memberimu ucapan selamat. Lalu aku pergi meninggalkanmu begitu saja beralasan aku punya pekerjaan yang harus aku selesaikan.

Bukan sekali dua kali aku merutuki langit untuk semua hal menyebalkan dan menyedihkan yang terjadi di hidupku. Dan bukan sekali dua kali aku merutuki langit untuk apa yang terjadi hari ini.

Sudah cukup sulit bagiku untuk terbangun karena kau yang tak juga bergeming dari pikiranku sepanjang siang dan malam, lalu aroma shampoo mu yang manis yang tertinggal di atas bantalku menyeruak sedetik kemudian saat aku membuka mata, mengundang rasa ngilu yang tak asing itu datang lagi menghimpit dadaku.

Dan sekarang mengetahui fakta bahwa kau memilih untuk dimiliki oleh orang lain. Dan orang itu bukan aku.

Seperti hujan yang turun tanpa awalan, dan malam yang datang tanpa peringatan.  Kau seharusnya memberiku sebuah peta untuk menunjukkan kemana seharusnya kubawa pergi hatiku, yang ternyata bukan dirimu. Lalu aku tersesat dan malah berakhir menenggelamkan seluruhnya kedalam dirimu.

Bukankah kau selalu memetik bunga yang sama untuk ratusan kali dalam hidupmu, meskipun kau tahu ada ribuan bunga yang jauh lebih indah mengelilingi bunga itu, dan bunga itu aku. Apa kau bosan dan beralih memetik yang lain, Jongin?

Tidakkah kau terlalu sibuk mencari bintang paling terang dilangit malam selama ini, Jongin? Padahal bulan yang selalu kau lihat setiap malam berada tepat disampingmu, menunggumu untuk kau pilih. Namun tidak, kau terlalu sibuk sampai bahkan kau tidak sadar kau telah  kehilangan satu-satunya bulan dilangit malammu.

Malam itu aku terlalu lelah untuk berfikir dan menebak-nebak apakah orang-orang datang atau pergi dari hidupku.

Lalu ku jatuhkan tubuhku diatas tempat tidurku. Mengijinkan sinar bulan mengintip masuk melalui celah jendela yang terbuka, biarkan cahaya mungil indahnya terbias menemaniku yang direngkuh gelap saat itu. Biarkan angin malam masuk dan bisikkan pesan ini padamu.

Ketahuilah, Jongin, bahwa setiap langkah yang telah maupun akan kau tempuh, itu teramat sangat menyakitiku. Karena kau berlalu tidak bersamaku melainkan dia yang tidak tahu apa-apa tentangmu  ̶ kau meninggalkanku.


What hurts the most
Is loving you, Jongin.

***

Jongin menutup laptopnya. Hari itu tertanggal 10 Desember 2015 dan salju pertama tahun itu turun, menumpuk di sudut luar jendela kamar Jongin. Lalu e-mail  itu tertanggal 14 Januari 2014, tepat satu minggu sebelum Sera memutuskan pulang kerumah orang tuanya di Minatoku, Tokyo. Dan tepat satu bulan dua belas hari setelah Jongin mendengar kabar kepergian Sera.

Bukan pergi kesuatu tempat yang bisa dengan mudah terjangkau dan dalam waktu singkat. Sera pergi ketempat dimana tidak ada lagi rasa sakit atau airmata yang membayanginya selama ini melainkan kebahagiaan ̶ atau setidaknya itulah yang ia harapkan, selamanya. Satu bulan dua belas hari,  ̶  tidak, bahkan menahun, bernaung dalam ketidakpastian, keterpurukan, hingga harapan tak lagi mampu menopang semuanya, lalu keputusasaan. Menjadikannya hanya sebuah kenangan mungkin jauh lebih baik. Biarkan hujan membawanya mengalir dalam setiap rintik lalu melebur menjadi satu dan berlalu.

Lalu e-mail itu beserta puluhan email serupa dari pengirim yang sama tenggelam bersama dengan email lain di kotak masuk Jongin. Bagaimana bisa dia baru membacanya? Jongin merasakan sesuatu yang hangat meluncur dari pelupuk matanya, membasahi setiap titik yang dilaluinya. Lalu satu lagi dari mata kanannya.

“Maafkan aku, Sera. Sungguh. Maafkan aku.”

 

WHAT HURTS THE MOST

Tinggalkan komentar